Pages

Wednesday, January 9, 2019

Hai Cinta! Kau disana?

Tercipta dengan kehendak bebas, itu manusia
Manusia itu aku, yang ingin bebas mencinta
Mencinta apa yang ada mengelilingiku, mencinta diriku
Diriku, selalu berkata aku
Lalu keraguan muncul, apakah aku benar sedang mencinta... ataukah ingin dicinta saja?

Saat datang yang mengoyak jati diri yaitu kesombongan, berlutut mohon ampun saja rasanya tidak cukup...
Aku, manusia, sangat malu dihadapan Sang Cinta Sejati...
Siapa aku, yang menyombong bisa memikul semuanya?

Aku merasa biru itu indah, kuning itu cantik, oranye itu memikat, merah itu mepesona, hitam itu menarik...
Semua warna aku menyukainya...
Kutumpahkan keatas kertas putihku
Kulukiskan, kucurahkan ekspresiku dalam warna-warna dan titik-titik serta garis-garis..
Kubuat luar biasa...
Kupandangi kertasku..
"Ah.. betapa indahnya" pikirku

Sangat puas dengan tanganku, aku tunjukkan kertasku pada semua orang yang kutemui
Kubanggakan dengan mewah,
"Ini karya dengan CintaNya!" Kataku
Hatiku meninggi..
Disini... Sang Sombong merasukiku
Mengatas namakan Cinta padahal egoku yang kukobarkan

Sang Cinta tentu kecewa,
Padaku yang memamerkan ego  beratas namakan Dia...
Dan dipersiapkan sesuatu untukku,
Untuk melepasku dari jerat parasit yang bernama Sombong

Kertasku, yang indah menurutku, dipilin..
Dipilin hingga gambarnya tak terlihat, warnanya tak terlihat, dan bentuknya menjadi kusut lurus...
Lalu dimbil api dari lilin abadi,
Ujung kertasku dinyalakan...
Kertasku terbakar...
Menjadi abu...
Menjadi bentuk lain...
Aku diubah...

Dipilin, dibakar, menjadi abu
Kertas itu adalah jiwaku,
Aku.

Tuesday, December 18, 2018

Teringat.. Mengingat...

Kukira aku sudah bebas,
Kukira aku sudah melangkah jauh darimu..
Kukira aku sudah bisa terlepas dari bayangmu...

Tapi tidak, sebuah batu kecil dilempar pada benakku,
Dan memori tentangmu berhamburan memenuhi diriku...
Rasa hangat saat aku dan kau masih bersama, masih terasa di hatiku...
Aku belum bisa lepas dari kenangan tentang betapa manis dan lembutnya perasaanku, perasaanmu, perasaan kita kala itu...

Aku bersalah waktu tidak sering memperhatikanmu, sedangkan kau selalu mencurahkan perhatianmu padaku...
Kau mengungkapkan rasa kasihmu padaku yang sangat kikuk, dan tak bosan mengatakan betapa rindunya untuk bertemu...
Aku yang sangat kikuk, dan ragu...
Aku yang bersalah karena sering tidak jujur dan sering menghindar darimu...
Kau tau? Aku hanya malu, dan kikuk saat berbincang denganmu...

Perhatian, kasih, dan sentuhanmu pada hatiku masih terngiang...
Tapi semuanya sudah menjadi kenangan...
Dan di titik ini aku menyadari bahwa aku masih belum bisa bebas dari bayangmu yang mengasihiku saat itu...

Apakah aku bisa bertemu dengan seseorang sepertimu ? Aku ragu.. bertahun-tahun aku belum menemukan yang sama sepertimu... Tak ada yang sama sepertimu...

Di titik ini, aku menoleh kebelakang, pada bayangmu - dimana kau sudah tak ada lagi disana...
Tak ada rasa sakit atau amarah atau kecewa... hanya rindu...
Aku ingin menjadi seorang putri drama sejenak, untuk kembali merasakanmu dalam benakku...
Sebentar saja...

Biarkan aku merasakan kembali kelembutan dan hangatnya hatimu dalam ingatanku...
Biarkan aku memilikimu dalam kenanganku sepenuhnya...
Sehingga pada saatnya aku dapat percaya, kau yang baik yang boleh aku temui dalam hidupku adalah bagian dari pelajaran hidupku yang sangat berharga...

Aku belajar tentang kejujuran, keterbukaan, kepercayaan, kehangatan hati yang penuh cinta dari sebuah relasi...
...
Terimakasih sudah menjadi bagian dari kisah diriku...

Doaku untukmu agar sehat dan bahagia selalu...

Thursday, January 4, 2018

Being loved, yet not believe in Love

Sepatunya sudah usang, sudah lama ia pakai untuk berlari. Alas sepatu sebelah kirinya sudah sangat tipis, seperti sepatu penari balet, padahal pada awalnya adalah sepatu lari. Ia berusaha berlari dan terus berlari, bersembunyi, lalu berlari dan berlari lagi.

Kadang ia lelah, kadang ingin berhenti berlari, tapi berlari dan bersembunyi adalah pertahanan diri yang terbaik yang bisa ia andalkan untuk menyelamatkan diri. Itu pikirnya. Maka meski sudah berada diujung tanduk, diujung tebing, diujung jalan yang hampir tak berujung, ia selalu mencari cara agar bisa mengelak, menghindar, dan berlari lalu bersembunyi. Ia takut hancur. Menghadapi apa yang mengejarnya akan membuatnya hancur. Ia memilih untuk tetap berusaha utuh.

Utuh menurutnya adalah terlihat baik-baik saja, terlihat sehat, gembira, bahagia, ceria, positif. Sesedih-sedihnya, sekalut-kalutnya, seterpuruk-puruknya, senegatif apapun perasaannya, akan ia tekan kuat-kuat didalam tekadnya untuk bersembunyi. Topeng-topeng sikap positif dan baik ia keluarkan, untuk melindungi dirinya. Jangan sampai orang lain tau bahwa ia sebenarnya rapuh, ia ingin terlihat kuat. Ya, terlihat kuat, terlihat ceria. Jika kerapuhannya terlihat oleh orang lain, maka hancurlah dirinya - itu pikirnya.

Dosa terbesarnya adalah penolakan. Yang mengejarnya adalah perhatian, yang ia hindari adalah ikatan kasih sayang, yang membuatnya tertekan adalah cinta. Ia tidak bisa menerima bahwa sebenarnya ia dicintai, bahwa sebenarnya ia sangat berharga untuk dipertahankan. Namun yang ia rasakan adalah rasa sakit saja. Ia belum bisa menerima bahwa ia begitu dicintai dan diperhatikan. Trauma masa lalu masih membelenggunya, ia enggan membebaskan dirinya alih-alih demi melindungi dirinya yang mudah pecah, rapuh.

Pengecut. Ia mengakuinya, bahwa ia pengecut, penakut. Rasa rendah diri menghantuinya, merasa tidak mampu menghadapi Cinta yang begitu besarnya, ia menolak bahkan sering menyangsikan Cinta itu sendiri. Ia terus berlari, dan bersembunyi.

Yang ia tahu, waktunya sudah dekat, ia harus hancur, dihancurkan. Hancur agar dapat terbentuk menjadi yang baru. Namun ia masih meringkuk dalam goa nya, berusaha mengumpulkan keberanian, yang sering terhempas oleh pikiran-pikiran pesimistis miliknya sendiri.
Betapa sulit menjadi diri sendiri, pikirnya...
Sebentar lagi, itu yang ia inginkan...
Namun Sang Cinta terus memojokkannya, dan berkata :

SEKARANG.

Sunday, August 27, 2017

Jingga Keemasan

Langit warna merah jingga menyilaukan mataku,
Matahari dengan sinar emasnya menelan seluruh perhatianku,
Cantik.. sangat cantik..

Jingga keemasan melarutkan warna biruku,
Biru muda terangku tertarik jingga keemasan...
Ah... warna yang memabukkan...

Ada tiga matahari, dan ada suara tertuju padaku :
"Pilihlah matahari sesuai hatimu."
Aku memilih matahari dengan sinar keemasan dengan latar jingga yang sudah menelan biruku.

Suara air terjun dalam goa mengiringi warna jingga keemasan yang menari-nari.
Siapakah engkau yang berdiri disana?
Di seberang sungai yang berkilau..
Wajah yang kukenal sekaligus asing, wajah yang kuingat sekaligus yang kulupakan...
Siapakah engkau?

Aku berpuisi dalam mimpi, aku terpana oleh matahari dengan sinar keemasan, dengan langit jingga, terpana saat biru terangku membaur dengan jingga keemasan, terpana saat menemukanmu di seberang sungai dalam goa ...
Sebentar saja kulihat engkau, tapi...
Aku terbangun...

Mimpi tentang puisi, mimpi tentang jingga keemasan, mimpi tentang engkau diseberangku.
Aku terbangun dengan mata yang masih mengingat sinar langit yang lembut namun mengagumkan itu.. masih dengan... ah..
Kurasa.. aku melupakan wajah itu.. wajah asing yang kukenal itu...












*L Sherlyana* 27-08-2017

Sunday, August 20, 2017

Aku Iri

Ada beberapa hal baru yang kucoba untuk kumengerti, dan ada yang harus kuterima tanpa kumengerti.
Ada beberapa hal yang membuatku senang dan beberapa hal yang membuatku sedih.
Ada beberapa hal yang membuat hatiku ringan, beberapa hal yang membuat kepalaku nyeri.

Mencari tanpa harus mengetahui, melangkah tanpa harus tau arah, bernyanyi tanpa harus tau nada selanjutnya, melukis tanpa tahu gambar akhirnya menjadi seperti apa...
Apa yang sedang kucari? Rute mana yang harus kutempuh? Lagu apa yang sedang kunyanyikan? Gambar apa yang sedang kulukis?
Apa tujuan hidupku? Mengapa aku diciptakan?

Aku merasa kadang Dia curang...
Beberapa orang boleh langsung mengetahui, beberapa orang boleh langsung berjalan pada rute berikutnya..
Ah.. iya, aku iri.

Aku merasa menjadi paling menyedihkan... paling menderita..
Bolehkah?
Padahal di sisi lain aku tau dan merasakan CintaNya, aku tau aku dicintai...
Hanya saja... aku belum puas dalam rasa sedihku. Di sisi lain aku terlalu takut menerima kesedihanku. Menyesakkan.

Pada dasarnya aku cenderung masuk ke kategori plegmatis, namun aku sekarang aku berada dalam fase melankolis.

Iya, aku iri...
Iya, aku sedih...
Iya...
Iya...
Iya...

Iya, aku sulit menerima kesedihanku.





***kepada sosok yang sudah menderita dalam waktu tidak sebentar, aku menyayangimu, menantikanmu, mengakuimu, aku tahu bahwa engkau sudah berjuang dengan baik untuk sampai disini***

Sunday, June 11, 2017

Mencintaimu

Mencintai seseorang itu menyakitkan. Bagaimana tidak? Rasa nyeri itu nyata, dari nyeri lambung sampai nyeri dada karena terlalu memikirkan seseorang. Apakah hanya aku saja?

***

Mencintaimu itu seperti merelakan tanganku tertusuk duri. Dirimu indah seperti bunga berwarna terang, namun berduri tangkainya. Aku memutuskan untuk menatap keindahanmu saja, tapi apa daya hatiku pun terjebak oleh daya tarikmu.

Aku masih tetap menatapmu. Rasa nyeri ini adalah bayangan bila aku sampai mengenai durimu. Aku menghindari rasa sakit. Aku selalu menolak untuk terjatuh dalam cinta personal... namun aku kali ini terjebak.

Ah... rasa sakit tujuh tahun lalu itu masih membayang, aku masih merasa enggan untuk mengakui diriku bahwa aku sudah jatuh dalam rasa personal (lagi). Ada rasa khawatir.

Aku hanya ingin cinta universal saja, tapi Dia sering bercanda dan memberikan hal-hal yang kadang bukan keinginanku saat ini.

Aihhh... rasa sakit itu muncul lagi, bahkan saat menulis coretan ini...

Apalah manusia tanpa cinta, aku bersyukur bisa merasakan rasa nyeri ini. Ini bukti bahwa aku (masih) punya sisi manusiawi...
--

Sherly, 11-06-2017

Friday, March 10, 2017

Aku Petrus

Setiap manusia mempunyai junjungannya masing-masing. Aku juga mempunyai junjunganku. Junjungan yang sangat kuhormati, dimana aku selalu setia berada disampingnya. Dia dapat membuat mukjizat-mukjizat, menyembuhkan orang-orang bahkan membangkitkan orang mati. Dia sangat berkuasa dan sangat hebat, Dialah Guruku.

Pada suatu malam Dia mengajakku dan dua muridNya yang lain juga secara khusus ke sebuah taman di kaki bukit zaitun. Dia meminta kami berjaga-jaga bersamaNya. Kami berusaha terjaga, namun kami sangat mengantuk dan kami pun tertidur. Kemudian Dia datang dan bertanya padaku, apakah aku tak sanggup berjaga-jaga denganNya selama satu jam saja. Aku sangat heran, Dia yang selalu tenang dan berwibawa terlihat sangat cemas dan gentar. Kami saling bertanya satu sama lain, tentang apa yang terjadi padaNya.

Ketika kami tertidur untuk yang kedua kalinya, Dia datang dan mengatakan bahwa "sudah waktunya". Aku masih belum tahu apa yang Ia maksud. Tapi memang Dia sering berkata hal-hal yang aku tak mengerti, atau belum bisa kumengerti. Ia kemudian mengajak kami berkumpul lagi bersama dengan murid-muridNya yang lain.

Datanglah serombongan orang membawa pedang dan pentung menghampiri kami saat Ia sedang berbicara dengan kami. Aku memasang kewaspadaanku, mau apa orang-orang ini? Kulihat Yudas ada bersama rombongan itu. Dia membisikkan sesuatu kepada mereka dan kemudian mendatangi Dia. Aku sudah curiga sejak kedatangannya bersama rombongan itu. Inilah yang dimaksud Dia saat kami mengadakan perjamuan semalam, ada yang akan mengkhianatiNya!

Setelah Yudas mengucapkan salam dan menciumNya, dengan segera serombongan orang itu menangkapnya dengan kasar, dengan tanpa hormat, dengan sangat kurang ajar!
Berani-beraninya mereka memperlakukanNya seperti itu! Aku sangat tidak terima, aku tidak terima jika Guruku disakiti dan dihina seperti ini!

Tanpa ragu kutarik pedangku dari sarungnya, kusabetkan pada mereka yang menahan Guruku! Ingin kulenyapkan semua yang menyakiti dan menghina junjunganku! Sabetan pedangku mengenai salah satu dari mereka, mengenai telinga salah satu dari mereka. Aku berhasil memutuskan telinga salah satu orang yang sangat kurang ajar itu!

Tanpa kuduga, Dia malahan menyuruhku untuk menyimpan kembali pedangku dan mengatakan bahwa tidak seharusnya aku mengeluarkan pedangku. Dan Ia lalu menyembuhkan orang itu dengan menyatukan kembali telinganya. Aku sangat heran. Kenapa aku tak boleh membelaNya? Kenapa ia tak mau kubela? Supaya tergenapi apa yang tertulis dalam Kitab Suci? Bagaimana bisa aku tidak marah jika Engkau diperlakukan seperti itu?
Dia... menolakku?


 ***

Aku mengikuti Dia yang ditangkap dari jauh. Dia dibawa ke hadapan Mahkamah Agama. Disana Ia diberikan tuduhan-tuduhan palsu. Namun begitu Ia tak menjawab suatu apapun. Sampai saat Ia mengatakan hal yang membuat Kayafas sang Imam Besar mengoyakkan pakaiannya, Ia diteriaki telah menghujat Allah. Dia lalu dipukul oleh suruhan-suruhan Imam Besar bahkan diludahi wajahNya.

Aku sangat marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Sosok yang menjadi kebangganku, seorang yang punya Kuasa Besar dan sangat dihormati, dihina dihadapanku, diteriaki hukuman mati. Seandainya Ia memperbolehkanku membelaNya, seandainya Dia menjawab semua tuduhan palsu yang diajukan kepadanya...
Aku tak tahan melihatNya seperti ini...

Tiba-tiba ada yang menanyaiku di depan orang banyak, hamba perempuan ini tahu bahwa aku selalu bersama-sama denganNya. Tapi aku sangat ketakutan di hadapan orang banyak dan aku menyangkal perkataannya. Saat aku mendekati pintu gerbang, ada hamba perempuan lain juga menunjukku di hadapan orang banyak. Maka aku bersumpah bahwa aku tidak mengenalNya. Aku menghindari kerumunan itu, namun datang lagi kerumunan lainnya dan kembali menekanku dengan pernyataan mereka. Aku sangat takut maka aku menyangkalNya lagi. Tak lama, aku mendengar suara ayam berkokok...

Sungguh aku tak bermaksud menyangkalNya... Namun inilah yang terjadi, perkataanNya malam itu sudah tergenapi. Aku yang berjanji setia kepadaNya benar-benar telah menyangkalNya. Aku yang telah berusaha membelaNya malahan benar-benar telah menyangkalNya...

Aku sangat tidak pantas...

====================================




Catatan penulis :

Tulisan ini dibuat saat masa prapaskah dan kebetulan karena di masa ini aku sering dihadapkan pada Injil Matius tentang kisah sengsaraNya, juga karena film The Passion Of Christ yang kutonton kembali. Kisah Santo Petrus sangat menyentuh sekaligus menamparku. Aku merasa ada sisi manusiawi St Petrus yang juga kita miliki.
Kita juga seorang murid. Saat kita berkomitmen untuk setia pada Guru kita, saat kita berkomitmen menyangkal diri untuk bisa mengikutiNya, tak jarang malahan kita jadi menyangkalNya untuk bertahan di zona nyaman. Kita tak setia pada komitmen yang sudah dibuat.
St Petrus dengan karakter "batu"nya mengalami pergulatan yang luar biasa. Saat dia mau membelaNya, tapi olehNya dia tidak diperbolehkan untuk membelaNya. Dan betapa kecewa juga ia karena Gurunya yang sangat punya kuasa bahkan terhadap kematian dan bisa membangkitkan orang mati, menjadi sosok yang sangat lemah di hadapan banyak orang.

Sangat mudah untuk bisa setia pada orang yang terlihat kuat dan punya kuasa. Kita dapat dengan mudah berkata bahwa kita setia pada orang (yang kita anggap) hebat seperti itu. Alih-alih kita berkomitmen untuk setia dan melindungi orang hebat ini, sebenarnya karena kita yakin bahwa orang-orang hebat ini pada akhirnya dapat menolong kita, maka kita berani mengajukan diri untuk bisa menolong mereka / menolongnya.
Kalau pendapatku (menurut pengalamanku) ini benar, maka wajar kenapa St Petrus yang sangat keras itu pun menjadi sangat takut dan menyangkalNya di hadapan orang banyak.

Namun kita tak boleh membuat hal yang "wajar" menjadi tameng penghalang untuk kita bisa lebih maju, untuk lebih mendekat padaNya. Seperti yang kita ketahui pada proses dan akhirnya St Petrus menjadi salah satu muridNya yang dengan lantang mewartakan kabar gembira dariNya.
Dan dia menjadi Paus pertama, dan seorang martir yang tak mau disalibkan sama seperti Gurunya. Ia merasa tidak pantas disalibkan sama sepertiNya. Maka ia minta untuk disalibkan secara terbalik.

Merupakan sebuah kewajaran jika kita manusia memiliki kelemahan terhadap suatu godaan jahat yang menjauhkan diri kita dariNya. Namun menjadi sebuah hal yang istimewa ketika kita berani untuk menyangkal diri - menolak godaan-godaan itu dan dengan pasti melangkah untuk mengikutiNya --- melalui sebuah pertobatan.

Selamat berjuang...!


11/03/2017, dini hari
Sherlyana