Pages

Saturday, October 3, 2015

Derap Langkah Yang Terus Menggoda

Jujurlah pada masa lalumu.

***

Panas, sangat panas. Kulitku protes, dengan menunjukkan belangnya. Mungkin perlu kugunakan kaos kaki. Supaya pigmenku tak terlalu bekerja berat melindungiku dari sinar matahari.
"Tap tap tap tap..."
Derap langkah khas mengalihkan pandanganku dari kakiku sendiri.

Dingin. Sejuk.
Beberapa detik aku merasakan udara disekitarku membeku. Dan setelah derap langkah itu berlalu, waktu kembali meleleh oleh terik matahari.
Aku sadar, bahwa empunya derap langkah itu membuatku tertegun.

Dan semangkuk Soto didepanku kembali meraung-raung untuk segera disempurnakan. Ah, memang ini tempat makan yang terbaik, es jeruk senyumnya juga selalu enak. Es jeruk yang selalu membuat senyum bagi yang meminumnya. Senyum sedikit mengkerut. Karena asam yang segar.

*

Hari belum habis, singgah ke toko buku merupakan hiburan yang terbaik di hari libur. Kuamati barisan buku beegenre psikologi. Aku selalu tertarik kepada buku-buku ini. Sangat menarik

"Tap tap tap tap..."

Reflek aku segera menoleh pada derap langkah itu. Kembali tertegun. Dia muncul kembali, melintasiku. Jujur agak berdebar rasanya.

*

Sore hari udara sudah sejuk. Duduk di pinggir taman sangat pas ditemani buku yang baru saja kubeli.
Tapi sebelumnya aku menengok kanan dan kiri. Apakah kali ini dia akan datang lagi melewatiku?

Tidak kurasa. Maka dengan tenang aku mulai membaca halaman demi halaman dari buku yang kupegang. Tawa dan obrolan mereka yang berjalan menikmati sore di taman seperti musik bagiku. Gesekan daun-daun di pohon beserta kepakan sayap para burung yang hendak bersarang menambah indah harmoni sore ini.

"Sedang membaca apa?"

Kaget. Konsentrasiku buyar oleh suara yang tiba-tiba muncul disampingku.

"Ah? Oh, ini... sedang baca buku.. eee.."

"Sepertinya asyik ya..."

"Eh, umm... iya."

Matanya bening khas anak-anak. Rambut hitamnya lurus dengan model Bob, berpadu dengan rok terusan putih selutut bertali pita di pinggangnya. Sepatu putih dan kaos kaki putih berenda, menambah manisnya penampilan gadis kecil ini.

Sesaat kami diam tanpa kata, tapi biarpun begitu, aku merasa kami sudah saling berbicara melalui mata kami masing-masing.

Kututup bukuku. Kuputuskan untuk mengobrol dengannya saja. Aku merasa tertarik dengan anak ini.
Namun belum aku berkata-kata lagi, wajah anak kecil ini menjadi kemerahan, matanya berair.
Aduh.

"Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?"

Dia belum menjawab, namun kutau dia berusaha menyembunyikan ekspresinya. Dia seperti berusaha untuk tidak menangis.

Sejujurnya aku mulai merasa tidak nyaman. Ada seorang anak kecil menangis didepanku, tapi sekaligus tidak ingin menangis. Apa sebenarnya mau dari si anak ini?

"A-a-aku.. kemarin sakit... iks"

Kata-katanya tidak begitu jelas, namun aku berusaha memahami.

"Sakit kenapa dik?"

"Ke-kemarin... akku dicegat... waktu pulang sekolah... iks... terus aku dipukul.. iks...iks.."

Dia mulai bercerita. Tapi kemudian aku merasa ada yang mengganjal dimataku.

"Aku takuuutt... hikss .. dia ngancam aku... uw... huwee... hiksss..."

Ah... aku merasa aneh... rasanya ingin memeluknya namun aku takut. Takut kalau aku memeluknya, dia malah makin menangis... tapi...

"A-aku... aku padaha-hal nggak... nggak salah... ttapi-tapi tetep dipukul..."

Ini semacam laporan dari anak kepada orang yang lebih dewasa yang ditemui. Kupikir seperti itu. Namun...

"A-aku sakit.. hiks... aku takuuttt.... takuuuttttt.... huweeeeeeeeee..."

Aku nggak tahan lagi. Ganjalan dimataku meleleh. Mencair. Mengalir. Dengan seluruh panjang tanganku, kupeluk anak ini. Dan benar, di dalam dekapku dia semakin meraung-raung, menangis. Kubiarkan saja sampai sepuasnya...

"Lepaskanlah... menangislah sepuasmu .. kamu ingin bebas 'kan?"

Dan dia terus menangis. Tak apa, menangislah sampai tak ada tenagamu untuk menangis. Tak apa. Aku ada bersamamu.

Kupeluk erat anak kecil ini sampai seolah-olah ia masuk dalam tubuhku sendiri. Melebur bersama jantungku.

*

Sinar matahari meredup. Dan kurasa memang sudah saatnya pulang. Kukemas bukuku dan kututup tas selempangku.

Saat kuberanjak dari tempat dudukku, kudengar suara derap langkah kaki itu lagi.

"Tap tap tap tap..."

Biasanya dia akan lewat begitu saja, namun kali ini berbeda. Saat ku menoleh padanya. Ia berhenti. Dan melempar senyumnya padaku. Begitupun aku. Membalas senyum kecilnya yang manis.
Lalu ia kembali berjalan dengan cepat, dengan sepatu putih mungilnya, dengan roknya yang bergelombang mengikuti hentakan langkah kakinya.

Seperti biasa, setelah dia melewatiku dan menghilang, waktu kembali mencair. Meskipun kali ini dia sudah mulai menoleh padaku bahkan menangis, kurasa dia akan tetap terus muncul. Sampai ia benar-benar puas.

Aku kemudian kembali mengingatnya, dia yang selalu ingin menangis namun tak mau, yang lemah namun selalu ingin menjadi yang kuat.
Dan senyumku kusimpan sendiri.

"Kamu sudah makin kuat nak..."
Kukatakan itu padanya, dalam hatiku.