Pages

Wednesday, October 23, 2013

Cerita Alam

Langit sangat cerah, awan berarak membentuk suatu pola ; pola tak berpola. Pagi yang cerah tiap harinya, dengan harum bunga dan angin yang lembut. Para cemara menari sesuai bisikan nada aliran sungai dimana ikan-ikan dan karanglah pemusiknya. Burung gereja yang sangat ramah selalu menyapa, bukan berkicau atau bernyanyi. Hanya menyapa. Seolah merasakan indahnya damai surga, sekali kemari maka akan sulit kembali. Serasa tak rela meninggalkan nuansa penuh cinta dari alam.

Terlihat dari kejauhan seorang pria berdiri, memandang langit dengan seksama, entah penuh makna atau duka. Sesekali menunduk, berkedip pada rumput ; berusaha tersenyum. Ironi. Dalam hembusan angin yang ceria terbawa aroma lara. Entah berasal dari pria itu, atau pada pada pandangannya. Atau pada keduanya. Diam. Alam pun terus mengamatinya. Dalam diam.

Dunia adalah menyakitkan menurutnya. Penuh ilusi dan tipu daya, kemenangan hanya pada yang berkuasa atas harta. Atas harta, kuasa sampai wanita. Yang berharta akan berkuasa, yang berkuasa akan bermain wanita. Klasik. Untuk seorang pria naif seperti dia, yang berharap pada kesejatian cinta, dunia begitu memilukan. Semua yang ia cintai, terutama bidadari yang ia harapkan untuk bersamanya, meninggalkannya. Ia tak punya harta, pun kuasa, maka sukar dalam mendapat wanita. Yang ia miliki hanya keyakinan akan masa depan cerah.

"Katakan padaku! Selain harta dan kuasa, apa yang tidak kumiliki?! Hatiku kuat selayak baja, jiwaku dipenuhi semangat emas kejujuran, murninya kilauan berlian tak semurni cintaku pada gadis yang kuharapkan! Mengapa dunia begitu jahat??? Mengapa hanya yang berharta yang bisa mendapatkan segalanya???? Tak ada lagikah yang berhati lurus di dunia ini?? MENGAPAAAA???!!!"

Para burung berhamburan, angin bergejolak, para cemara membuang daun-daunnya. Mereka yang hanya mengamati akhirnya berontak. Suara sungai pun makin keras menghantam. Suara parau pria itu menjadi alasan mereka berontak. Ada yang salah. Ada yang salah pada pandangan pria itu. Atau pada pola pikirnya. Atau keduanya.

Setelah sesaat, alam pun kembali diam. Kembali mengamati. Apa gerangan yang akan dilakukan pria ini? Sungai mulai gelisah. Jangan-jangan pria ini ingin meceburkan dirinya? Ah, tidak mungkin. Sungai terlalu indah dan juga tidak dalam. Ikan menenangkan sang sungai. Atau pria ini ingin menggantungkan dirinya? Para cemara mulai gelisah. Itu tidak mungkin, para cemara terlalu tinggi dan terlalu indah untuk tempat bergantung. Burung-burung menenangkan para cemara. Lalu apa yang kira-kira akan pria ini lakukan?
Mungkin ada yang bisa menolongnya? Kita hanya bisa mengamati. Begitu yang alam pikirkan.

"Kak..."

Terhenyak dari ratapannya, pria ini merasakan ada yang menarik-narik kemeja yang ia kenakan. Dilihatnya seorang anak kecil berhidung mungil dengan tangan yang mungil pula.

"A...ada apa?"

"Kenapa kakak berisik?"

"Ah... maaf, aku kira hanya aku yang ada disini."

"Kakak sedih? Kenapa?"

"Orang yang kucintai meninggalkan aku demi orang yang tidak lebih baik daripada aku."

"Oh... jadi kakak sedih karena ditinggalkan... Kalau kutemani bagaimana? Aku takkan meninggalkan kakak."

Pria ini tertegun mendengar kalimat sederhana yang dilontarkan oleh seorang anak kecil yang ada disampingnya.
Tanpa ragu sang anak duduk beralaskan rumput yang lembut, dengan sekali tarikan saja, pria ini juga terduduk disamping sang anak.

Mereka saling berbicara, bercanda dan tersenyum. Dan alam masih mengamati.

"Kau begitu kecil, berapa umurmu?"

"Bulan besok aku masuk sekolah menengah pertama."

"Dua belas? Atau tiga belas?"

"Sebelas. Aku memang paling muda dikelasku."
Kepalanya sesekali digoyangkan ketika bercerita, membuat rambut lurusnya juga bergoyang. Angin sedikit berperan dalam hal ini.

"Oh, pantas. Memang masih kecil." Gumam tawa menggema dari bibirnya.

"Kalau kakak? Dua puluh lima?" Mata coklatnya berkilat penuh selidik.

"Hmpft... Apa aku terlihat setua itu?"
Tawa akhirnya meluncur melalui suaranya. Untuk beberapa saat alam sepertinya ingin tertawa juga. Tapi mereka menahannya.
"Enam belas. Aku baru enam belas tahun."

"Oh.... Baru enam belas... lalu kenapa sudah berpikiran seperti sudah berumur dewasa? Kakak kan belum dewasa?"

"Apa maksudnya?"

"Suara kakak tadi kencang. Kata ibu, hal-hal seperti harta dan yang lainnya hanya perlu dipikirkan oleh orang dewasa. Tapi ada apa sebenarnya?"

"Hanya pelampisan. Hanya ingin berteriak. Hanya itu saja," ucapnya sambil tersenyum simpul.

"Kakak kelihatannya pintar, wajah kakak juga lumayan. Tapi lebih baik kakak memikirkan belajar dulu daripada memikirkan hal yang tidak-tidak."

"Hal yang tidak-tidak bagaimana?"

"Itu juga yang dikatakan ibu padaku, sebenarnya aku juga tidak begitu mengerti. Harta dan teman-temannya mungkin, mungkin itu adalah hal yang tidak-tidak?"

Sesaat mereka terdiam. Berfikir, tenggelam dalam benak masing-masing. Si pria mungkin merenung ada benarnya sang anak dalam berkata. Sang anak mungkin kembali berusaha memahami apa yang pernah ibunya katakan. Ibunya pernah berkata seperti itu ketika ia bercerita tentang temannya yang memamerkan sebuah cincin emas bermata berlian padanya. Ia benci pada temannya yang suka pamer.

Lebih baik memikirkan belajar daripada memikirkan hal yang tidak-tidak.

Kini pikiran si pria mulai terbuka. Ia sadar bahwa ia sebaiknya bangga untuk hal yang ia miliki. Prestasi yang cemerlang, termasuk yang ia banggakan. Ia yakin bahwa ia mempunyai masa depan yang cerah. Tak perlu ia memikirkan bahkan tergila-gila pada seorang gadis untuk saat ini. Kini ia tahu, kelak suatu saat dimana dia sudah berada di posisi tepat dalam hidupnya, dengan mengandalkan kejujuran, prestasi dan terutama Tuhan, ia pasti akan menemukan seorang gadis yang tepat pula untuknya. Untuk saat ini, demi seorang gadis yang tepat, tentunya dia harus menjadi seorang pria yang tepat.

"Dik, siapa namamu?"

"Sherly."

"Sherly, pasti ibumu sangatlah baik. Beliau mengajarkan sesuatu yang baik."

"Ah.. iya, ibuku sangat baik. Masakannya juga enak, terutama nasi gorengnya!"
Timpal sang anak dengan penuh semangat.

Lebih baik memikirkan belajar daripada memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Sudah kuputuskan. Aku akan mengejar masa depanku dengan belajar keras saat ini."
Ia bergumam. Masih sakit. Atas kekalahannya. Setelah memendam cinta bertepuk sebelah tangan beberapa lama, ternyata gadis yang ia cintai jatuh ke pelukan seorang remaja pria yang memiliki orangtua yang kaya raya. Sedangkan ia hanya seorang remaja pria penerima beasiswa yang berasal dari keluarga sederhana.

"Kak....? Kakak melamun?"

"Eh... maaf, hanya sedikit berfikir. Boleh kapan-kapan aku mencicipi nasi goreng buatan ibumu? Kedengarannya sangat sangat enak..." ^_^

"Tentu! Sangat sangat sangaaatt enak!" Kedua jempol tangannya ia acungkan dengan mantap.

Alam masih diam, sedikit bergumam. Angin bergumam dengan lembut, awan kembali ceria melintasi bukit, burung gereja pun menyapa hati yang mulai bangkit. Nuansa damai kembali menyeruak.

"Sudah beranjak sore. Aku ingin pulang. Kau sebaiknya pulang juga Sher."
Sedikit meregangkan badan, dan si pria mulai melangkah maju.

"Ah, iya."

Dengan langkah kecilnya sang anak berlari berusaha mengikuti langkah si pria. Dan kembali berhasil menarik kemeja si pria. Hampir. Hampir saja si pria tak kuasa menahan bebannya sendiri. Untung saja gerak reflek melarangnya untuk jatuh.

"Ada apa? Sherly?"

"Besok kakak kesini lagi? Kubawakan nasi goreng buatan ibuku. Mau?"

Si pria terdiam sesaat. Lalu tersenyum hangat.
"Tentu saja.."

Tangannya mengusap kepala sang anak. Membuat rambut pendek sang anak sedikit tak beraturan.
Sampai-sampai sang awan pun tertawa melihat rambut sang anak. Tapi sang anak terlihat tak peduli.

"Asik... "
Tapi belum ia lepaskan tangannya dari kemeja si pria.

"Eh iya. nama kakak siapa?"

"Namaku? Namaku...........





                                                                                                            ==End==