Pages

Friday, March 10, 2017

Aku Petrus

Setiap manusia mempunyai junjungannya masing-masing. Aku juga mempunyai junjunganku. Junjungan yang sangat kuhormati, dimana aku selalu setia berada disampingnya. Dia dapat membuat mukjizat-mukjizat, menyembuhkan orang-orang bahkan membangkitkan orang mati. Dia sangat berkuasa dan sangat hebat, Dialah Guruku.

Pada suatu malam Dia mengajakku dan dua muridNya yang lain juga secara khusus ke sebuah taman di kaki bukit zaitun. Dia meminta kami berjaga-jaga bersamaNya. Kami berusaha terjaga, namun kami sangat mengantuk dan kami pun tertidur. Kemudian Dia datang dan bertanya padaku, apakah aku tak sanggup berjaga-jaga denganNya selama satu jam saja. Aku sangat heran, Dia yang selalu tenang dan berwibawa terlihat sangat cemas dan gentar. Kami saling bertanya satu sama lain, tentang apa yang terjadi padaNya.

Ketika kami tertidur untuk yang kedua kalinya, Dia datang dan mengatakan bahwa "sudah waktunya". Aku masih belum tahu apa yang Ia maksud. Tapi memang Dia sering berkata hal-hal yang aku tak mengerti, atau belum bisa kumengerti. Ia kemudian mengajak kami berkumpul lagi bersama dengan murid-muridNya yang lain.

Datanglah serombongan orang membawa pedang dan pentung menghampiri kami saat Ia sedang berbicara dengan kami. Aku memasang kewaspadaanku, mau apa orang-orang ini? Kulihat Yudas ada bersama rombongan itu. Dia membisikkan sesuatu kepada mereka dan kemudian mendatangi Dia. Aku sudah curiga sejak kedatangannya bersama rombongan itu. Inilah yang dimaksud Dia saat kami mengadakan perjamuan semalam, ada yang akan mengkhianatiNya!

Setelah Yudas mengucapkan salam dan menciumNya, dengan segera serombongan orang itu menangkapnya dengan kasar, dengan tanpa hormat, dengan sangat kurang ajar!
Berani-beraninya mereka memperlakukanNya seperti itu! Aku sangat tidak terima, aku tidak terima jika Guruku disakiti dan dihina seperti ini!

Tanpa ragu kutarik pedangku dari sarungnya, kusabetkan pada mereka yang menahan Guruku! Ingin kulenyapkan semua yang menyakiti dan menghina junjunganku! Sabetan pedangku mengenai salah satu dari mereka, mengenai telinga salah satu dari mereka. Aku berhasil memutuskan telinga salah satu orang yang sangat kurang ajar itu!

Tanpa kuduga, Dia malahan menyuruhku untuk menyimpan kembali pedangku dan mengatakan bahwa tidak seharusnya aku mengeluarkan pedangku. Dan Ia lalu menyembuhkan orang itu dengan menyatukan kembali telinganya. Aku sangat heran. Kenapa aku tak boleh membelaNya? Kenapa ia tak mau kubela? Supaya tergenapi apa yang tertulis dalam Kitab Suci? Bagaimana bisa aku tidak marah jika Engkau diperlakukan seperti itu?
Dia... menolakku?


 ***

Aku mengikuti Dia yang ditangkap dari jauh. Dia dibawa ke hadapan Mahkamah Agama. Disana Ia diberikan tuduhan-tuduhan palsu. Namun begitu Ia tak menjawab suatu apapun. Sampai saat Ia mengatakan hal yang membuat Kayafas sang Imam Besar mengoyakkan pakaiannya, Ia diteriaki telah menghujat Allah. Dia lalu dipukul oleh suruhan-suruhan Imam Besar bahkan diludahi wajahNya.

Aku sangat marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Sosok yang menjadi kebangganku, seorang yang punya Kuasa Besar dan sangat dihormati, dihina dihadapanku, diteriaki hukuman mati. Seandainya Ia memperbolehkanku membelaNya, seandainya Dia menjawab semua tuduhan palsu yang diajukan kepadanya...
Aku tak tahan melihatNya seperti ini...

Tiba-tiba ada yang menanyaiku di depan orang banyak, hamba perempuan ini tahu bahwa aku selalu bersama-sama denganNya. Tapi aku sangat ketakutan di hadapan orang banyak dan aku menyangkal perkataannya. Saat aku mendekati pintu gerbang, ada hamba perempuan lain juga menunjukku di hadapan orang banyak. Maka aku bersumpah bahwa aku tidak mengenalNya. Aku menghindari kerumunan itu, namun datang lagi kerumunan lainnya dan kembali menekanku dengan pernyataan mereka. Aku sangat takut maka aku menyangkalNya lagi. Tak lama, aku mendengar suara ayam berkokok...

Sungguh aku tak bermaksud menyangkalNya... Namun inilah yang terjadi, perkataanNya malam itu sudah tergenapi. Aku yang berjanji setia kepadaNya benar-benar telah menyangkalNya. Aku yang telah berusaha membelaNya malahan benar-benar telah menyangkalNya...

Aku sangat tidak pantas...

====================================




Catatan penulis :

Tulisan ini dibuat saat masa prapaskah dan kebetulan karena di masa ini aku sering dihadapkan pada Injil Matius tentang kisah sengsaraNya, juga karena film The Passion Of Christ yang kutonton kembali. Kisah Santo Petrus sangat menyentuh sekaligus menamparku. Aku merasa ada sisi manusiawi St Petrus yang juga kita miliki.
Kita juga seorang murid. Saat kita berkomitmen untuk setia pada Guru kita, saat kita berkomitmen menyangkal diri untuk bisa mengikutiNya, tak jarang malahan kita jadi menyangkalNya untuk bertahan di zona nyaman. Kita tak setia pada komitmen yang sudah dibuat.
St Petrus dengan karakter "batu"nya mengalami pergulatan yang luar biasa. Saat dia mau membelaNya, tapi olehNya dia tidak diperbolehkan untuk membelaNya. Dan betapa kecewa juga ia karena Gurunya yang sangat punya kuasa bahkan terhadap kematian dan bisa membangkitkan orang mati, menjadi sosok yang sangat lemah di hadapan banyak orang.

Sangat mudah untuk bisa setia pada orang yang terlihat kuat dan punya kuasa. Kita dapat dengan mudah berkata bahwa kita setia pada orang (yang kita anggap) hebat seperti itu. Alih-alih kita berkomitmen untuk setia dan melindungi orang hebat ini, sebenarnya karena kita yakin bahwa orang-orang hebat ini pada akhirnya dapat menolong kita, maka kita berani mengajukan diri untuk bisa menolong mereka / menolongnya.
Kalau pendapatku (menurut pengalamanku) ini benar, maka wajar kenapa St Petrus yang sangat keras itu pun menjadi sangat takut dan menyangkalNya di hadapan orang banyak.

Namun kita tak boleh membuat hal yang "wajar" menjadi tameng penghalang untuk kita bisa lebih maju, untuk lebih mendekat padaNya. Seperti yang kita ketahui pada proses dan akhirnya St Petrus menjadi salah satu muridNya yang dengan lantang mewartakan kabar gembira dariNya.
Dan dia menjadi Paus pertama, dan seorang martir yang tak mau disalibkan sama seperti Gurunya. Ia merasa tidak pantas disalibkan sama sepertiNya. Maka ia minta untuk disalibkan secara terbalik.

Merupakan sebuah kewajaran jika kita manusia memiliki kelemahan terhadap suatu godaan jahat yang menjauhkan diri kita dariNya. Namun menjadi sebuah hal yang istimewa ketika kita berani untuk menyangkal diri - menolak godaan-godaan itu dan dengan pasti melangkah untuk mengikutiNya --- melalui sebuah pertobatan.

Selamat berjuang...!


11/03/2017, dini hari
Sherlyana

No comments:

Post a Comment