Pages

Saturday, September 24, 2016

Ketika Si Pengikut Dipaksa Agar Dapat Diikuti

Beberapa orang merasa menjadi penguasa adalah suatu impian, dimana banyak orang tunduk dan patuh pada setiap perintahnya. Beberapa orang merasa bangga ketika dapat memimpin suatu pasukan. Tapi itu semua bukan aku. Aku seorang pengikut.

Ini zona nyamanku, zona pengikut.
Berada dibalik punggung orang lain, merasa aman dibalik perlindungan orang lain, dan merasa tenang ketika dapat mengandalkan orang lain. Mengikuti perintah dan ajakan untuk berbuat sesuatu alih-alih karena aku merasa itu adalah suatu kewajiban karena orang atau orang-orang tersebut sudah melindungi dan menjagaku. Dan agar tetap seperti itu selalu.

Satu kelebihan yang kemudian kusadari adalah bahwa aku mampu untuk mendorong dan menyemangati orang-orang disekitarku. Aku dapat mendorong mereka dari belakang. Itu fungsiku kenapa aku berada dibalik punggung orang-orang. Aku sangat senang dengan kemampuanku yang kusadari ini...

Namun...
Aku jadi menganggap kemampuanku inilah kepunyaanku satu-satunya. Aku jadi tidak berkembang. Aku masih berada di zona nyamanku.

Kemudian aku mengintip kedepan, dari sela punggung orang-orang yang berada didepanku. Takut. Menghadapi posisi depan sangat membuatku khawatir. Aku lebih nyaman berada dibelakang. Aku mengintip lagi, dan rasa takut itu masih selalu muncul.

Kemudian tiba saatnya, aku mengambil langkah. Sudah kusiapkan mental untuk bisa beralih, untuk berjalan didepan. Mungkin Sang Pemimpin Abadi masih melihat keraguan dalam diriku. Maka kemudian aku "dipaksa"Nya untuk segera berjalan didepan. Aku ditarik kedepan. Cemas, gugup, merasa tak berdaya. Tapi aku sudah tak bisa mundur lagi.

"Sudah saatnya," kataNya.
"Kemampuanmu untuk mendorong, namun kamu juga harus merasakan bagaimana caranya untuk menarik dari depan", lanjutNya lagi.

Aku menurut. Aku melawan keinginanku untuk dapat berada dibelakang. Aku memegang rasa takut dan cemasku, kurasakan detil-detil ketakutanku. Kuangkat wajahku dan kulihat jalan di depan. Dia sudah tak ada didepanku. Aku tak dapat melihat punggungNya lagi. Dan orang-orang sekarang berada dibelakangku.

Saat bimbang dan ragu, tanganku digenggam. Ternyata Dia ada disampingku sekarang. Rasa cemas dan takut perlahan kulepaskan. Aku percaya padaNya, yang menaruh kepercayaan kepadaku.

Aku berada didepan, tapi bukan serta merta aku menjadi pemimpin utama. Ia adalah pemimpin sejatinya. Aku dibimbingNya pelan-pelan. Kadang agak dipaksa, karena kebimbanganku yang terlalu lama.
Tapi pada intinya, sekarang biarpun berada dibelakang atau saat berada didepan, Dia selalu ada untukku.

Saat dibelakang, Dia membantuku untuk mendorong. Saat didepan, Ia mengajariku dengan seksama bagaimana cara untuk menarik, dan menarik juga bersamaku.
Aku percaya dimanapun posisiku berada, Dia selalu ada disampingku.