Pages

Sunday, March 3, 2013

Potongan Senja (bagian 1)




"Kamu suka melihat matahari terbenam seperti ini ya?"

Pertanyaannya mendesakku keluar dari lamunan. Kutolehkan sedikit kepalaku lalu kupalingkan kembali pada matahari. Takut. Ada rasa takut ketika melihatnya memandang ke arahku.

"Iya. Aku suka.."

Langit kala itu seperti terbakar, dengan bola api raksasa yang perlahan terkubur di hamparan air yang juga menjadi merah. Cahaya oranye terang seperti menyeretku masuk ke suatu tempat, suatu tempat di sudut hatiku. Nyaman sekaligus mendebarkan.

"Hmm.. Konon katanya orang yang suka dengan matahari terbenam cenderung lebih sering tenggelam dalam masa lalunya."

"Eh? Yang benar?"

Saat aku menoleh, mata kami bertabrakan. Seketika aku menatap matahari kembali. Sesaat tadi aku melihat senyum kecilnya kearahku. Ah.. aku ingin tengelam saja rasanya.

"Haha.. Kamu ini... 'kan kamu yang bisa cocokin sama diri kamu sendiri benar atau nggaknya. Aku 'kan tadi bilangnya juga cuma 'konon'."

Suara tawanya menggema dalam telingaku. Bersyukur ada matahari yang menyerangku dengan sinar oranyenya. Aku jadi tak perlu cemas pada perubahan warna kulit wajahku. Dia terus saja memberiku pertanyaan demi pertanyaan yang kemudian berubah menjadi topik obrolan. Mau tak mau aku jadi sering menatap wajahnya ketika harus menjawab pertanyaan darinya. Ya walau dengan begitu lebih sering juga aku melarikan tatapan mataku pada matahari. Ketika aku diam, ia akan menjadi lebih beirisik. Sedikit mengganggu, tapi entah kenapa aku ingin dia tetap menggangguku.

"Jadi memang benar kamu lebih sering mengingat kenangan masa lalu ya.. "

"Seperti kubilang tadi, hanya kadang-kadang, tapi lumayan sering juga."

"Haaa~ ? Kadang-kadang tapi sering? Apa sering tapi kadang-kadang? Hahaha..."

Ah... aku jadi teringat nilai pelajaran Bahasa Indonesiaku yang sempat anjlok saat SMA. Kenapa aku jadi sebegitu canggung seperti ini?
Hanya karena tawa lepasnya aku jadi tak fokus memalingkan wajahku pada matahari. Bahkan sandalku pun aku tatap lekat-lekat tanpa sengaja.

"Ah.. haha.. maaf, malah jadi seperti mentertawakanmu. ha...hha.."

Apa? 'Seperti' katamu?

"Kamu jarang tertawa ya sepertinya?"

Perlu dijawabkah pertanyaan seperti itu? Kurasa tidak. Jadi aku hanya diam tertunduk. Hanya menatap pasir yang berserakan di kuku kakiku.

"Sering melamunkan masa lalu, jarang tertawa, jarang berbicara... Apa kamu bahagia?"

Bahagia? Apa itu bahagia? Kulihat matanya, kucari maksud dari 'bahagia' yang ia katakan barusan.
Bahagia?

"Apa itu bahagia?"

Hening.
Sedetik setelah kalimatku yang ada setelahnya adalah suasana bisu. Mimik wajahnya seperti heran dan kaget. Aku juga heran. Kemana tawanya yang tadi? Bukankah seharusnya dia tertawa?  Aku tak sanggup menatap matanya dalam waktu yang lebih lama, lagipula di matanya tak kutemukan suatu apapun. Hanya terpana.

"Ah... maaf."

Eh? Kenapa dia meminta maaf? Ekspresi menyesal yang ia tunjukkan malah menbuatku sesak. Tertawalah. Kumohon tertawalah seperti tadi.
Apa aku salah kalau aku tak mengerti tentang arti bahagia?

Kumohon...

"Maaf.... Aku juga... maaf."

Kembali pada hening. Kami sama-sama tertunduk. Entah apa yang ia pikirkan, Tapi aku memikirkan dia yang tiba-tiba menjadi seperti ini. Beberapa menit yang lalu ia tertawa.
Tertawa!
Hanya karena 'bahagia' ia menjadi seperti ini. Mungkin aku harus menyalahkan 'bahagia'.

Perlahan tapi pasti sinar oranye itu lenyap, berikut dengan matahari yang membawanya. Hamparan pantai jadi terasa riuh, ramai. Ah... tapi sepertinya dari sebelum aku kemari memang telah ramai. Kenapa aku sempat merasa di pantai ini hanya ada aku dan dia? Perlukah kusalahkan 'bahagia' lagi karena 'bahagia' sudah menyadarkanku bahwa di tempat ini bukan hanya ada aku dan dia?

"Sudah kuputuskan!"

"Eh?!"
Apa? memutuskan apa? Kenapa tiba-tiba? Hampir lepas jantungku sepertinya ketika dia mengeluarkan nada kerasnya berikut kepalan di kedua tangannya.

"Sudah kuputuskan. Aku akan menunjukkan padamu apa artinya kebahagiaan itu!"

Dengan mata jernihnya ia menatapku lurus. Senyum kekanakannya membuatku ingin meloncat. Aku benar-benar ingin lari ke lautan saat ia mendekatkan dirinya padaku. Aku..Aku bingung harus melarikan pandanganku kemana? Ah! Iya! Sandalku!

"Jadilah sahabatku, aku akan tunjukkan bahagia padamu!!"



***


"Karin!! Sudah malam nih! Cepat kumpul! Nanti kamu ketinggalan makan malam!"

"Hmm... ya. Aku kesana."

Bola api raksasa sudah menenggelamkan dirinya ke lautan. Kurasa sudah saatnya aku kembali pada masa sekarang. Sepenggal kenangan tentang senja membuatku tenggelam pada masa lalu.
Yah... seperti katanya waktu itu. Memang benar kalau aku menyukai masa lalu.



~~~bersambung~~~

No comments:

Post a Comment