Pages

Friday, March 10, 2017

Aku Petrus

Setiap manusia mempunyai junjungannya masing-masing. Aku juga mempunyai junjunganku. Junjungan yang sangat kuhormati, dimana aku selalu setia berada disampingnya. Dia dapat membuat mukjizat-mukjizat, menyembuhkan orang-orang bahkan membangkitkan orang mati. Dia sangat berkuasa dan sangat hebat, Dialah Guruku.

Pada suatu malam Dia mengajakku dan dua muridNya yang lain juga secara khusus ke sebuah taman di kaki bukit zaitun. Dia meminta kami berjaga-jaga bersamaNya. Kami berusaha terjaga, namun kami sangat mengantuk dan kami pun tertidur. Kemudian Dia datang dan bertanya padaku, apakah aku tak sanggup berjaga-jaga denganNya selama satu jam saja. Aku sangat heran, Dia yang selalu tenang dan berwibawa terlihat sangat cemas dan gentar. Kami saling bertanya satu sama lain, tentang apa yang terjadi padaNya.

Ketika kami tertidur untuk yang kedua kalinya, Dia datang dan mengatakan bahwa "sudah waktunya". Aku masih belum tahu apa yang Ia maksud. Tapi memang Dia sering berkata hal-hal yang aku tak mengerti, atau belum bisa kumengerti. Ia kemudian mengajak kami berkumpul lagi bersama dengan murid-muridNya yang lain.

Datanglah serombongan orang membawa pedang dan pentung menghampiri kami saat Ia sedang berbicara dengan kami. Aku memasang kewaspadaanku, mau apa orang-orang ini? Kulihat Yudas ada bersama rombongan itu. Dia membisikkan sesuatu kepada mereka dan kemudian mendatangi Dia. Aku sudah curiga sejak kedatangannya bersama rombongan itu. Inilah yang dimaksud Dia saat kami mengadakan perjamuan semalam, ada yang akan mengkhianatiNya!

Setelah Yudas mengucapkan salam dan menciumNya, dengan segera serombongan orang itu menangkapnya dengan kasar, dengan tanpa hormat, dengan sangat kurang ajar!
Berani-beraninya mereka memperlakukanNya seperti itu! Aku sangat tidak terima, aku tidak terima jika Guruku disakiti dan dihina seperti ini!

Tanpa ragu kutarik pedangku dari sarungnya, kusabetkan pada mereka yang menahan Guruku! Ingin kulenyapkan semua yang menyakiti dan menghina junjunganku! Sabetan pedangku mengenai salah satu dari mereka, mengenai telinga salah satu dari mereka. Aku berhasil memutuskan telinga salah satu orang yang sangat kurang ajar itu!

Tanpa kuduga, Dia malahan menyuruhku untuk menyimpan kembali pedangku dan mengatakan bahwa tidak seharusnya aku mengeluarkan pedangku. Dan Ia lalu menyembuhkan orang itu dengan menyatukan kembali telinganya. Aku sangat heran. Kenapa aku tak boleh membelaNya? Kenapa ia tak mau kubela? Supaya tergenapi apa yang tertulis dalam Kitab Suci? Bagaimana bisa aku tidak marah jika Engkau diperlakukan seperti itu?
Dia... menolakku?


 ***

Aku mengikuti Dia yang ditangkap dari jauh. Dia dibawa ke hadapan Mahkamah Agama. Disana Ia diberikan tuduhan-tuduhan palsu. Namun begitu Ia tak menjawab suatu apapun. Sampai saat Ia mengatakan hal yang membuat Kayafas sang Imam Besar mengoyakkan pakaiannya, Ia diteriaki telah menghujat Allah. Dia lalu dipukul oleh suruhan-suruhan Imam Besar bahkan diludahi wajahNya.

Aku sangat marah, sedih, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Sosok yang menjadi kebangganku, seorang yang punya Kuasa Besar dan sangat dihormati, dihina dihadapanku, diteriaki hukuman mati. Seandainya Ia memperbolehkanku membelaNya, seandainya Dia menjawab semua tuduhan palsu yang diajukan kepadanya...
Aku tak tahan melihatNya seperti ini...

Tiba-tiba ada yang menanyaiku di depan orang banyak, hamba perempuan ini tahu bahwa aku selalu bersama-sama denganNya. Tapi aku sangat ketakutan di hadapan orang banyak dan aku menyangkal perkataannya. Saat aku mendekati pintu gerbang, ada hamba perempuan lain juga menunjukku di hadapan orang banyak. Maka aku bersumpah bahwa aku tidak mengenalNya. Aku menghindari kerumunan itu, namun datang lagi kerumunan lainnya dan kembali menekanku dengan pernyataan mereka. Aku sangat takut maka aku menyangkalNya lagi. Tak lama, aku mendengar suara ayam berkokok...

Sungguh aku tak bermaksud menyangkalNya... Namun inilah yang terjadi, perkataanNya malam itu sudah tergenapi. Aku yang berjanji setia kepadaNya benar-benar telah menyangkalNya. Aku yang telah berusaha membelaNya malahan benar-benar telah menyangkalNya...

Aku sangat tidak pantas...

====================================




Catatan penulis :

Tulisan ini dibuat saat masa prapaskah dan kebetulan karena di masa ini aku sering dihadapkan pada Injil Matius tentang kisah sengsaraNya, juga karena film The Passion Of Christ yang kutonton kembali. Kisah Santo Petrus sangat menyentuh sekaligus menamparku. Aku merasa ada sisi manusiawi St Petrus yang juga kita miliki.
Kita juga seorang murid. Saat kita berkomitmen untuk setia pada Guru kita, saat kita berkomitmen menyangkal diri untuk bisa mengikutiNya, tak jarang malahan kita jadi menyangkalNya untuk bertahan di zona nyaman. Kita tak setia pada komitmen yang sudah dibuat.
St Petrus dengan karakter "batu"nya mengalami pergulatan yang luar biasa. Saat dia mau membelaNya, tapi olehNya dia tidak diperbolehkan untuk membelaNya. Dan betapa kecewa juga ia karena Gurunya yang sangat punya kuasa bahkan terhadap kematian dan bisa membangkitkan orang mati, menjadi sosok yang sangat lemah di hadapan banyak orang.

Sangat mudah untuk bisa setia pada orang yang terlihat kuat dan punya kuasa. Kita dapat dengan mudah berkata bahwa kita setia pada orang (yang kita anggap) hebat seperti itu. Alih-alih kita berkomitmen untuk setia dan melindungi orang hebat ini, sebenarnya karena kita yakin bahwa orang-orang hebat ini pada akhirnya dapat menolong kita, maka kita berani mengajukan diri untuk bisa menolong mereka / menolongnya.
Kalau pendapatku (menurut pengalamanku) ini benar, maka wajar kenapa St Petrus yang sangat keras itu pun menjadi sangat takut dan menyangkalNya di hadapan orang banyak.

Namun kita tak boleh membuat hal yang "wajar" menjadi tameng penghalang untuk kita bisa lebih maju, untuk lebih mendekat padaNya. Seperti yang kita ketahui pada proses dan akhirnya St Petrus menjadi salah satu muridNya yang dengan lantang mewartakan kabar gembira dariNya.
Dan dia menjadi Paus pertama, dan seorang martir yang tak mau disalibkan sama seperti Gurunya. Ia merasa tidak pantas disalibkan sama sepertiNya. Maka ia minta untuk disalibkan secara terbalik.

Merupakan sebuah kewajaran jika kita manusia memiliki kelemahan terhadap suatu godaan jahat yang menjauhkan diri kita dariNya. Namun menjadi sebuah hal yang istimewa ketika kita berani untuk menyangkal diri - menolak godaan-godaan itu dan dengan pasti melangkah untuk mengikutiNya --- melalui sebuah pertobatan.

Selamat berjuang...!


11/03/2017, dini hari
Sherlyana

Saturday, September 24, 2016

Ketika Si Pengikut Dipaksa Agar Dapat Diikuti

Beberapa orang merasa menjadi penguasa adalah suatu impian, dimana banyak orang tunduk dan patuh pada setiap perintahnya. Beberapa orang merasa bangga ketika dapat memimpin suatu pasukan. Tapi itu semua bukan aku. Aku seorang pengikut.

Ini zona nyamanku, zona pengikut.
Berada dibalik punggung orang lain, merasa aman dibalik perlindungan orang lain, dan merasa tenang ketika dapat mengandalkan orang lain. Mengikuti perintah dan ajakan untuk berbuat sesuatu alih-alih karena aku merasa itu adalah suatu kewajiban karena orang atau orang-orang tersebut sudah melindungi dan menjagaku. Dan agar tetap seperti itu selalu.

Satu kelebihan yang kemudian kusadari adalah bahwa aku mampu untuk mendorong dan menyemangati orang-orang disekitarku. Aku dapat mendorong mereka dari belakang. Itu fungsiku kenapa aku berada dibalik punggung orang-orang. Aku sangat senang dengan kemampuanku yang kusadari ini...

Namun...
Aku jadi menganggap kemampuanku inilah kepunyaanku satu-satunya. Aku jadi tidak berkembang. Aku masih berada di zona nyamanku.

Kemudian aku mengintip kedepan, dari sela punggung orang-orang yang berada didepanku. Takut. Menghadapi posisi depan sangat membuatku khawatir. Aku lebih nyaman berada dibelakang. Aku mengintip lagi, dan rasa takut itu masih selalu muncul.

Kemudian tiba saatnya, aku mengambil langkah. Sudah kusiapkan mental untuk bisa beralih, untuk berjalan didepan. Mungkin Sang Pemimpin Abadi masih melihat keraguan dalam diriku. Maka kemudian aku "dipaksa"Nya untuk segera berjalan didepan. Aku ditarik kedepan. Cemas, gugup, merasa tak berdaya. Tapi aku sudah tak bisa mundur lagi.

"Sudah saatnya," kataNya.
"Kemampuanmu untuk mendorong, namun kamu juga harus merasakan bagaimana caranya untuk menarik dari depan", lanjutNya lagi.

Aku menurut. Aku melawan keinginanku untuk dapat berada dibelakang. Aku memegang rasa takut dan cemasku, kurasakan detil-detil ketakutanku. Kuangkat wajahku dan kulihat jalan di depan. Dia sudah tak ada didepanku. Aku tak dapat melihat punggungNya lagi. Dan orang-orang sekarang berada dibelakangku.

Saat bimbang dan ragu, tanganku digenggam. Ternyata Dia ada disampingku sekarang. Rasa cemas dan takut perlahan kulepaskan. Aku percaya padaNya, yang menaruh kepercayaan kepadaku.

Aku berada didepan, tapi bukan serta merta aku menjadi pemimpin utama. Ia adalah pemimpin sejatinya. Aku dibimbingNya pelan-pelan. Kadang agak dipaksa, karena kebimbanganku yang terlalu lama.
Tapi pada intinya, sekarang biarpun berada dibelakang atau saat berada didepan, Dia selalu ada untukku.

Saat dibelakang, Dia membantuku untuk mendorong. Saat didepan, Ia mengajariku dengan seksama bagaimana cara untuk menarik, dan menarik juga bersamaku.
Aku percaya dimanapun posisiku berada, Dia selalu ada disampingku.

Monday, July 11, 2016

Percakapan

"Hei! Apa kau tahu? Cintaku pupus."

"Kenapa? Setahuku kau belum menyatakan perasaanmu, namun kau bilang sudah pupus?"

"Aku tahu dia sudah punya pujaan hati."

"Memangnya kenapa?"

"Kenapa bagaimana? Aku tak mau menjadi pengganggu. Itu saja."

"Maka kau pupuskan perasaanmu sendiri?"

"Apa itu salah?"

"..."

"Apa itu salah?"

"Coba kau pikirkan sendiri."

"Aku berpikir kalau tetap berpendirian dalam rasa ketertarikanku padanya, aku akan terjerumus lebih dalam. Setelah mengetahui ini, setidaknya aku belum terlalu masuk dalam perasaan."

"Kau memang orang yang selalu menahan diri. Selalu seperti itu"

"Selalu?"

"Dengan siapapun. Seolah kau tertarik, namun pada akhirnya kau selalu mencari alasan untuk tak melanjutkan ketertarikanmu itu. Rasanya aneh ketika kau tertarik pada orang yang selalu tak bisa kau jangkau."

"Apa iya seperti itu?"

"Apa yang kau cemaskan?"

"Aku tidak cemas"

"Lalu?"

"Hanya saja aku merasa bahwa mungkin bukan dia."

"Haa~h... ya sudahlah..."

"Ini karena aku merasa bebas untuk mencintai siapapun."

"Namun kemudian kau jadi tak bisa berkomitmen dengan siapapun."

"... mmm... haha.."

"Kali ini temukan orang yang menjadikan dirimu sebagai pujaan hatinya. Itu jauh lebih mudah."

"Ide bagus. Tapi apa ada?"

"Ah.. itu.. hmmm.."

***

Kemudian kami terbahak-bahak bersama.

Monday, January 18, 2016

Melalui Doa aku Mencinta

Saat sedang berjalan di keramaian, ada yang menyapaku.

"Bertepuk sebelah tangan, kamu telah memilih takdirmu sendiri."

Tentu aku sangat kaget dengan kalimatnya. Bertepuk sebelah tangan? Aku? Bagaimana bisa?

Namun aku hanya bisa diam. Sampai akhirnya dapat segera sadar dan sanggup menata kata-kata.

"Bertepuk sebelah tangan adalah mengibaskan tangan ke udara dan berharap ada tangan orang lain yang menyambut sehingga dapat saling bertepuk. Tapi, rasaku bukan seperti itu."

Sejenak aku memperhatikan mimik mukanya. Lalu setelah yakin dia tak akan memotong perkataanku, aku lanjutkan kalimatku.

"Aku mencintainya dengan tangan yang mengudara- dan mendarat di dadaku. Aku mencintainya dengan doa. Meskipun kata orang lain ini adalah kesia-sia-an, namun dengan ujub doa demi kebahagiaannya, aku merasa dia tidak jauh."

Orang asing ini mengerutkan dahinya dan melontarkan pendapatnya,
"Bukankah hal itu tak membuatmu dekat dan tak mungkin dia mengetahui perasaanmu. Itu memang sia-sia."

"Aku melihatnya sebagai sayap.. sepasang sayap. Memiliki hak bebas untuk terbang dan bertumbuh. Aku juga sedang bertumbuh, saat melihatnya yang sudah bertumbuh begitu indahnya, menjadi penyemangatku untuk juga dapat bertumbuh dengan baik lagi."

Aku membayangkan wajahnya sebentar, merasa tenang.

"Apakah dia tahu atau tidak tentang kekaguman dan kecintaanku padanya, aku tak peduli. Aku ingin melihatnya bahagia dengan pertumbuhannya. Maka akupun dapat bahagia, dan bangga atas pertumbuhannku. Karena dia yang mengajariku untuk dapat berbangga diri atas pertumbuhan diri."

"Sungguh rumit."

"Tidak. Perasaanku ini sederhana. Hanya saja penghakimanmu terhadap perasaan orang lainlah yang dapat dikatakan sebagai kerumitan."

"Baiklah... Tapi, ingatlah, jangan hanya berdiam pada senja. Masuklah kedalam malam, lalu terbitlah!"

Aku tak begitu mengerti kata-kata terakhirnya. Sementara dia pergi dengan menunjukkan punggungnya padaku dan perlahan menghilang di keramaian.
Aku tak sempat bertanya apa maksudnya...
Pertemuan yang ganjil...

Monday, December 14, 2015

Complicated But Simple

Yang terlihat rumit belum tentu rumit. Namun yang sederhana juga terkadang menjadi rumit. Tak ada yang benar-benar rumit maupun sederhana. Tergantung dari cara pandang kita saja.

Hal-hal yang kita anggap sederhana bisa jadi adalah hal rumit bagi orang lain, dapat pula sebaliknya. Maka kalimat seperti, "Masa' seperti itu saja kamu tak bisa?" Adalah suatu kekerasan mental yang kita pukulkan kepada orang lain. Dan yang lebih kejamnya lagi ketika terlontar kalimat semacam, "Itu kan hal sepele, kenapa juga harus sedih atau marah karena hal-hal itu."

Bro.. Sis.. Setiap pribadi mempunyai kisah perjuangannya masing-masing. Nggak ada yang bebas dari ironi kehidupan. Semisal pun jika ada orang disekitarmu terlihat tanpa luka dan sangat bahagia, jangan iri. Bisa jadi lukanya malah lebih besar dari milikmu.

Sering kudengar komentar-komentar yang bersirat ke-iri-an.
"Dia enak banget ya, apa-apa keturutan. Anak orang kaya sih!"
"Kalau dia mah nggak pernah susah."
"Enak sih, soalnya dia cantik, terus yang diomongin cowok mulu.. hedehh"
"Si A udah sukses ya? Bisa dapat orang mapan. Pengen deh kayak gitu. Punya hidup enak."

Enak enak dan enak. Kehidupan orang lain sepertinya lebih enak ya. Tapi apa iya? Seperti yang kubilang tadi, semua relatif. Kita diberi kesusahan sesuai porsi masing-masing. Menganggap orang lain lebih susah itu namanya mengasiani. Manganggap diri lebih susah daripada orang lain itu berarti ingin dikasiani. Seolah-olah kisah kitalah yang paling penting dan kisah orang lain tak ada artinya. Padahal jika dihadapkan pada situasi yang sama persis, belum tentu kita bisa menghadapi kesusahan/masalah yang dialami orang tersebut.

Dan kalimat seperti, "Kamu nggak akan bisa mengerti karena kamu nggak mengalaminya!"
Itu... membuatku sakit hati.. Jelas aku nggak bisa sama persis mengalami hal yang pernah kamu atau dia alami. Aku ada bukan untuk menjalani hal yang sama denganmu. aku mempunyai kisahku, kamu mempunyai kisahmu. Namun tak bisa dipungkiri kita dipertemukan oleh takdir dan waktu untuk bisa berbagi kisah-kisah kita. Bagikan kegelisahanmu, bagikan kedukaan atau segala riang gembiramu, sederhana kan?... Meski aku nggak mengerti, tapi aku ada kok...

Menarik hal-hal rumit untuk mencari sumber kerumitan pada awalnya itu tak mudah. Mengungkit kembali sejarah hidup itu nggak seperti kita baca buku sejarah dan sekedar bilang "Ooo.. begitu to ceritanya"

Segala keganjelan - yang seringnya menjadi lontaran kita untuk orang lain - entah itu sikap buruk atau baik -atau iri, ada kaitannya dengan sejarah. Sejarah hidup kita masing-masing. Ada sesuatu yang belum selesai, ketidakpuasan yang tidak terselesaikan. Kalau aku mengibaratkannya itu seperti simpul yang belum tersimpul rapi, namun sudah terbenam dengan simpul-simpul lainnya, yang rapi maupun tidak. Kalau bahasa Jawa-nya adalah mBundet.

Menarik. Selalu saja aku tertarik untuk membahas yang namanya sejarah hidup, karena ini juga otomatis berkenaan dengan karakter manusia juga. Dan aku memang tertarik dengan pendalaman karakter. Bermula ketika aku bertanya-tanya tentang Siapa Aku Ini? Lalu aku merasa mengenal orang lain secara lebih jauh dan lebih dalam sangat menyenangkan. Efek dari pendalaman dan pengenalanku secara lebih jauh dengan diriku.

Nah,, tentang mBundet.. Sebenarnya bisa kita sederhanakan kembali. Memilah-milah, menyederhanakan simpul-simpulnya, dan mendapatkan simpul yang mBundet untuk pertama kali. Diluruskan, lalu disimpulkan kembali dengan rapi. Namun tak semudah kelihatannya. Akan terjadi goresan-goresan dari benang itu. Dan alasan kenapa dulu simpul-simpul itu mBundet- tak sempurna tersimpul bisa ketahui. Tapi perlu diketahui, simpul yang pernah mBundet takkan bisa kembali lurus rapi seperti yang diharapkan. Lekuk-lekuknya tetap kasar meski alasannya kenapa mBundet sudah kita ketahui dan sudah kita simpul ulang.

Sembundet apapun simpulmu, tak mengapa. hehe
Don't worry be happy!
Sekesal apapun dirimu pada dunia.. tak masalah..
Don't worry be happy!
Semenyesal apaun dirimu terhadap masa lalumu,
Don't worry be happy! Masih ada kesempatan untuk memperbaikinya..
Hadiah yang sangat berharga adalah waktu. Selama ada hadiah itu, sudah lebih dari cukup untuk bisa tetap maju dalam pengembangan pribadi yang lebih baik lagi.

Sekali lagi,
DON'T WORRY BE HAPPY !
:D

Saturday, October 3, 2015

Derap Langkah Yang Terus Menggoda

Jujurlah pada masa lalumu.

***

Panas, sangat panas. Kulitku protes, dengan menunjukkan belangnya. Mungkin perlu kugunakan kaos kaki. Supaya pigmenku tak terlalu bekerja berat melindungiku dari sinar matahari.
"Tap tap tap tap..."
Derap langkah khas mengalihkan pandanganku dari kakiku sendiri.

Dingin. Sejuk.
Beberapa detik aku merasakan udara disekitarku membeku. Dan setelah derap langkah itu berlalu, waktu kembali meleleh oleh terik matahari.
Aku sadar, bahwa empunya derap langkah itu membuatku tertegun.

Dan semangkuk Soto didepanku kembali meraung-raung untuk segera disempurnakan. Ah, memang ini tempat makan yang terbaik, es jeruk senyumnya juga selalu enak. Es jeruk yang selalu membuat senyum bagi yang meminumnya. Senyum sedikit mengkerut. Karena asam yang segar.

*

Hari belum habis, singgah ke toko buku merupakan hiburan yang terbaik di hari libur. Kuamati barisan buku beegenre psikologi. Aku selalu tertarik kepada buku-buku ini. Sangat menarik

"Tap tap tap tap..."

Reflek aku segera menoleh pada derap langkah itu. Kembali tertegun. Dia muncul kembali, melintasiku. Jujur agak berdebar rasanya.

*

Sore hari udara sudah sejuk. Duduk di pinggir taman sangat pas ditemani buku yang baru saja kubeli.
Tapi sebelumnya aku menengok kanan dan kiri. Apakah kali ini dia akan datang lagi melewatiku?

Tidak kurasa. Maka dengan tenang aku mulai membaca halaman demi halaman dari buku yang kupegang. Tawa dan obrolan mereka yang berjalan menikmati sore di taman seperti musik bagiku. Gesekan daun-daun di pohon beserta kepakan sayap para burung yang hendak bersarang menambah indah harmoni sore ini.

"Sedang membaca apa?"

Kaget. Konsentrasiku buyar oleh suara yang tiba-tiba muncul disampingku.

"Ah? Oh, ini... sedang baca buku.. eee.."

"Sepertinya asyik ya..."

"Eh, umm... iya."

Matanya bening khas anak-anak. Rambut hitamnya lurus dengan model Bob, berpadu dengan rok terusan putih selutut bertali pita di pinggangnya. Sepatu putih dan kaos kaki putih berenda, menambah manisnya penampilan gadis kecil ini.

Sesaat kami diam tanpa kata, tapi biarpun begitu, aku merasa kami sudah saling berbicara melalui mata kami masing-masing.

Kututup bukuku. Kuputuskan untuk mengobrol dengannya saja. Aku merasa tertarik dengan anak ini.
Namun belum aku berkata-kata lagi, wajah anak kecil ini menjadi kemerahan, matanya berair.
Aduh.

"Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit?"

Dia belum menjawab, namun kutau dia berusaha menyembunyikan ekspresinya. Dia seperti berusaha untuk tidak menangis.

Sejujurnya aku mulai merasa tidak nyaman. Ada seorang anak kecil menangis didepanku, tapi sekaligus tidak ingin menangis. Apa sebenarnya mau dari si anak ini?

"A-a-aku.. kemarin sakit... iks"

Kata-katanya tidak begitu jelas, namun aku berusaha memahami.

"Sakit kenapa dik?"

"Ke-kemarin... akku dicegat... waktu pulang sekolah... iks... terus aku dipukul.. iks...iks.."

Dia mulai bercerita. Tapi kemudian aku merasa ada yang mengganjal dimataku.

"Aku takuuutt... hikss .. dia ngancam aku... uw... huwee... hiksss..."

Ah... aku merasa aneh... rasanya ingin memeluknya namun aku takut. Takut kalau aku memeluknya, dia malah makin menangis... tapi...

"A-aku... aku padaha-hal nggak... nggak salah... ttapi-tapi tetep dipukul..."

Ini semacam laporan dari anak kepada orang yang lebih dewasa yang ditemui. Kupikir seperti itu. Namun...

"A-aku sakit.. hiks... aku takuuttt.... takuuuttttt.... huweeeeeeeeee..."

Aku nggak tahan lagi. Ganjalan dimataku meleleh. Mencair. Mengalir. Dengan seluruh panjang tanganku, kupeluk anak ini. Dan benar, di dalam dekapku dia semakin meraung-raung, menangis. Kubiarkan saja sampai sepuasnya...

"Lepaskanlah... menangislah sepuasmu .. kamu ingin bebas 'kan?"

Dan dia terus menangis. Tak apa, menangislah sampai tak ada tenagamu untuk menangis. Tak apa. Aku ada bersamamu.

Kupeluk erat anak kecil ini sampai seolah-olah ia masuk dalam tubuhku sendiri. Melebur bersama jantungku.

*

Sinar matahari meredup. Dan kurasa memang sudah saatnya pulang. Kukemas bukuku dan kututup tas selempangku.

Saat kuberanjak dari tempat dudukku, kudengar suara derap langkah kaki itu lagi.

"Tap tap tap tap..."

Biasanya dia akan lewat begitu saja, namun kali ini berbeda. Saat ku menoleh padanya. Ia berhenti. Dan melempar senyumnya padaku. Begitupun aku. Membalas senyum kecilnya yang manis.
Lalu ia kembali berjalan dengan cepat, dengan sepatu putih mungilnya, dengan roknya yang bergelombang mengikuti hentakan langkah kakinya.

Seperti biasa, setelah dia melewatiku dan menghilang, waktu kembali mencair. Meskipun kali ini dia sudah mulai menoleh padaku bahkan menangis, kurasa dia akan tetap terus muncul. Sampai ia benar-benar puas.

Aku kemudian kembali mengingatnya, dia yang selalu ingin menangis namun tak mau, yang lemah namun selalu ingin menjadi yang kuat.
Dan senyumku kusimpan sendiri.

"Kamu sudah makin kuat nak..."
Kukatakan itu padanya, dalam hatiku.

Thursday, September 18, 2014

Surat Untuk Temanku (Be Magis Always)

www.mega-wallpaper.com


"Be Magis Always"

Beberapa hari ini terngiang-ngiang kalimat itu. Selalu jadi lebih baik. Kalau aku menangkap artinya "Jadilah lebih baik selalu." Bulan ke 7 bergumul dengan latihan rohani, setelah melalui materi ke 6 di Magis, aku merasa makin gila. Gila dalam artian sinting.. haha..  makin gila dalam menanggapi setiap hal yang datang dan pergi.

Makin kesini makin tersadarkan oleh sifat baik dan buruk yang aku miliki. Oh... ini rasa cemburu, berasal dari sifat kekanakanku yang selalu ingin memiliki sepenuhnya. Oh.. ini rasa menerima, berasal dari sifatku yang penyabar. Oh.. ini rasa takut untuk bicara, berasal dari sifat kurang percaya diri. Oh... ini rasa lega, hasil dari sifatku yang selalu ingin tahu.
Makin bisa merasa, makin bisa mengerti, makin menerima kekacauan yang ada, makin mensyukuri kedamaian yang ada.

Rasa lelah dan halangan-halangan untuk selalu menjadi "Magis" datang silih berganti. Tapi dikala latihan rohani menjadi kering, selalu muncul kerinduan untuk kembali "curhat" kepada Bapa. Menjalani latihan rohani dengan jatuh bangun sudah biasa. Tapi ra popo, aku merasa semakin sering jatuh, semangatku untuk jadi lebih baik semakin berkobar. Bukan hanya tentang latihan rohani, kemudian semangat untuk menjadi "lebih" menjalar ke pola kehidupan sehari-hari. Dimana sekarang aku jadi lebih berusaha tepat waktu, bangun lebih awal, menjalani hari dengan langkah ringan, menghadapi ketakutan-ketakutan harian, dan tersenyum untuk apa yang telah menjadi porsiku sebagai berkat harian.

Rasa tidak nyaman yang sering kuabaikan dan kuingkari adalah rasa marah. Setelah mengetahui kalau itu adalah rasa marah, malah jadi sering terjebak untuk melampiaskannya secara gamblang dengan perilaku yang tidak sepantasnya. Dan setelahnya ada rasa bersalah. Mungkin harus kembali pada sifat sebelumnya yaitu ngampet. Itu pikiranku sebelumnya. Tapi setelah dirasa-rasa lagi, kalau kembali ke sifat itu, langkahku jadi mundur. Lalu pelan-pelan setelah berdiskusi dengan diriku, diputuskanlah tentang mengolah rasa marah ini. Pertanyaan demi pertanyaan kulontarkan pada diriku sampai aku tahu apa sebab rasa marah yang muncul. Setelah tahu, imbasnya aku juga tahu kecenderunganku. Biasanya marahku sebabnya ya tentang itu itu saja.

Nah... inilah kenapa aku merasa makin gila. Aku jadi lebih sering "bicara" dengan diriku sendiri dalam pengolahan setiap rasa. Haha.. tapi mungkin itu bagus untukku. Masih dalam tahap normal, bukan kaya orang yang jalan tanpa tujuan tanpa sebab ketawa-ketiwi sendiri di pinggir jalan itu... hoho

Dan dari Magis juga aku belajar untuk didengar, bukan hanya mendengar. Walau masih blegag blegug tiap bicara, walau masih ada rasa tidak percaya diri, ketika benar-benar didengarkan, ada rasa senang. Ah... begini to rasanya didengarkan..

Dengan jatuh bangunku, dengan rapuh dan kuatku, aku tahu bahwa aku tidak sendiri. Aku punya kalian sebagai teman tempatku bisa mendengar dan didengar. Memahami dan dipahami. Percaya dan dipercaya.

Bukan menawarkan, hanya saja kalau kalau teman merasa perjalanan menjadi "magis" terasa atau melewati kekeringan, ingat saja bahwa teman nggak sendiri...
Boleh kita main sambil sharing, magcir kecil-kecilan gituuu... (maen ayo maeenn... haha )

untuk lilis, dani, dan yosef .. magcir nggak harus sebulan sekali,, XD
Untuk saroh kita juga,,, ayo maiinn,,, XD
Ini sharingku, mana sharingmu? ;9 

Memang aku lebih bisa nulis daripada ngomong kalo soal perasaan.... besok kalo magcir aku buat copian apa yg kutulis trus kubagi gitu aja kali yaa...
-_-"